Minggu, 21 Juni 2015

Pewartaan Menurut Santo Agustinus

PANDANGAN ST. AGUSTINUS TENTANG PEWARTAAN

Oleh Cornelius-diambil dari Situs Lux VeritatisVeritatis 7

 “Tak diragukan lagi, ia adalah seorang yang tandus, yang mewartakan Sabda Allah secara lahiriah tanpa mendengarnya secara batiniah.” – St. Agustinus
Mari kita mengarahkan perhatian kita kepada salah satu Bapa Gereja Barat yang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pewartaan: St. Agustinus dari Hippo. St. Agustinus menulis sebuah buku yang berjudul Mengenai Ajaran Kristen, yang terdiri dari empat buku: buku I-III membahas tentang cara memahami dan menafsirkan Kitab Suci, sedangkan buku keempat berbicara tentang bagaimana menyampaikan kebenaran, dengan kata lain, buku keempat ini banyak berbicara tentang pewartaan baik itu secara prinsip maupun praktik.
Tiga Fungsi Pewartaan Menurut St. Agustinus
“Seorang orator ulung dengan benar berkata bahwa “seseorang yang fasih berbicara harus berbicara untuk mengajar, memberikan kesenangan, dan membujuk.” Lalu ia menambahkan: “Mengajar adalah keharusan, memberikan kesenangan merupakan keindahan, membujuk merupakan sebuah kemenangan”.” – St. Agustinus
Menurut St. Agustinus, terdapat tiga fungsi pewartaan: untuk mengajar, memberikan kesenangan, dan membujuk.
Fungsi pengajaran menegaskan bahwa seorang pewarta, harus menafsirkan dan menjaga kebenaran ilahi yang ia temukan dalam Kitab Suci, sekaligus juga menghancurkan kesesatan yang ada. Hal ini terlihat jelas dalam homili St. Agustinus, yaitu bahwa ia tidak hanya menjelaskan apa yang benar, tetapi seringkali ia juga menghancurkan kesesatan yang ia temui, misalnya kesesatan Donatisme. Mengajar merupakan sebuah keharusan karena seseorang tidak dapat bertindak bila ia tidak mengetahui apa yang benar yang harus dilakukan.
Mengajar juga berarti bahwa kebenaran yang disampaikan haruslah mudah dimengerti. Oleh karena itu, hendaknya cara penyampaian yang rumit dan ambigu harus dihindari sehingga pendengar dapat memperoleh pemahaman yang sama. St. Agustinus menempatkan fungsi pengajaran ini sebagai prioritas utama dalam pewartaan. Ia berkata:
“Untuk apa sebuah kunci yang terbuat dari emas, bila ia tidak dapat membuka apa yang ia inginkan untuk dibuka? Atau keberatan apa yang harus kita ajukan kepada kunci yang terbuat dari kayu, bila ia dapat membuka apa yang ditutup, dan inilah yang kita inginkan?”
Dengan kata lain, kebenaran yang disampaikan pewarta itu bagaikan kunci yang seharusnya dapat membuka pintu hati manusia, sehingga ia dapat berdiam di dalamnya. Akan lebih baik bila kebenaran memang disampaikan dengan cara yang indah, namun apabila seseorang tidak memiliki talenta dalam hal ini, hendaknya rasa cinta terhadap kebenaranlah yang diutamakan dan bukan bagaimana seharusnya kebenaran itu disampaikan.
Fungsi kesenangan berarti bahwa kebenaran harus disampaikan dengan cara yang indah sehingga membuat seseorang menikmati apa yang didengarnya. Fungsi ini juga berperan dalam menjaga perhatian para pendengar agar tetap fokus mendengarkan pewarta yang berkhotbah. Bila mendengarkan pewartaan dapat dianalogikan sebagai sebuah makanan, maka tentu apa yang didengar haruslah memberikan kenikmatan sehingga seseorang mau terus mengunyahnya. Untuk memberikan keindahan dalam pewartaan, St. Agustinus menggunakan berbagai teknik retorika, yang sayangnya tidak akan kita bahas di sini.
St. Agustinus menekankan perlunya menyatukan kebijaksanaan dan kefasihan dalam berbicara; memadukan kebenaran dan keindahan penyampaian merupakan sebuah ideal yang harus dicapai seorang pewarta. Namun bagaimana bila seseorang memiliki cara penyampaian yang baik, tetapi tidak dapat menyusun apapun? Atau, bagaimana bila seseorang tidak mampu menyampaikan kata-kata dengan indah? St. Agustinus menganjurkan mereka menyampaikan tulisan yang ditulis oleh mereka yang mampu memadukan kebijaksanaan dan kefasihan dalam berbicara.
Pada prakteknya, khususnya di jaman modern ini, seorang pewarta harus berkonsultasi dengan tokoh-tokoh Katolik yang tidak diragukan lagi kekudusan dan kebijaksanannya. Mereka tidak lain adalah santo/a, para paus, uskup dan imam yang sudah terbukti kebijaksanaan dan kekudusannya, dan telah banyak meninggalkan warisan yang berharga bagi kita.
Fungsi menggerakkan juga merupakan fungsi yang tak boleh dilupakan seorang pewarta. Mereka yang sudah memahami kebenaran, dan menikmatinya ketika mendengarkan pewartaan, terkadang kehendak mereka belumlah tergerak untuk melakukan apa yang sudah didengarkan. Berdasarkan pengalaman pribadinya ketika berjuang membebaskan umatnya dari kejahatan yang mereka lihat, dengar, dan rasakan, St. Agustinus menunjukkan bagaimana kita dapat mengetahui apakah pewartaan kita sudah mampu menggerakkan kehendak:
“Bagaimanapun, bukan ketika aku mendengarkan tepuk tangan, melainkan ketika aku melihat air mata merekalah aku berpikir pewartaanku memiliki dampak. Karena tepuk tangan menunjukkan bahwa mereka sudah diajarkan dan dikenyangkan, tetapi air mata mereka menunjukkan bahwa mereka sudah ditaklukkan. Dan ketika aku melihat air mata mereka aku merasa yakin, bahkan sebelum kejadian membuktikannya, bahwa budaya barbar dan mengerikan (yang diteruskan pada mereka dari bapa dan leluhur mereka yang lampau dan yang olehnya para musuh menyerang hati mereka, atau merasuki mereka) telah dijungkirbalikkan; dan segera setelah khotbahku berakhir aku memanggil mereka dengan hati dan suara untuk memuji dan bersyukur kepada Tuhan.”
Pewartaan yang menimbulkan air mata bagi para pendengarnya menunjukkan bahwa pewartaan itu sendiri haruslah memiliki daya untuk membangkitkan emosi, karena melalui emosi yang menyentuh sanubari hati, air mata mengalir, mengalir dan mengawali proses pemurnian jiwa-jiwa. Tidak hanya membangkitkan semangat dan menyentuh hati, St. Agustinus juga memasukkan aspek teguran atas perilaku yang buruk atau jahat, agar seseorang menyadari bahayanya. Aspek inilah yang menurut saya, kian jarang terdengar dalam pewartaan di jaman modern, khususnya di Indonesia.
Jika setelah mendengar kebenaran, menikmatinya, dan kemudian seseorang bertindak atas dasar kebenaran, maka inilah kemenangan yang dimaksud St. Agustinus. Apakah kemenangan tersebut terutama merupakan hasil usaha manusia? Bolehkah manusia berbangga terhadap dirinya ketika ia berhasil menggerakkan para pendengarnya melakukan apa yang sudah mereka ketahui? Menurut St. Agustinus, mengajar dan memberikan kenikmatan intelektual kepada pendengar merupakan bagian dari usaha manusia, namun upaya untuk membengkokkan kehendak, menyelaraskan kehendak manusia dengan Allah sehingga ia mau bertindak, merupakan karya Allah yang mendorong kehendak melaui rahmat.
Fondasi Pewartaan: Doa dan Kesatuan antara Perkataan dan Perbuatan
Tidak perlu diragukan lagi bahwa St. Agustinus sangat menekankan pentingnya kehidupan doa bagi seorang pewarta. Mari kita simak nasehat yang indah dari St. Agustinus:
“Dan begitu juga ahli pidato Kristen, sementara ia berkata tentang apa yang benar, dan kudus, dan baik (dan ia seharusnya tidak pernah berkata yang lain), melakukan apa yang ia bisa untuk didengar dengan inteligensi, dengan kenikmatan, dan dengan ketaatan; dan ia tidak perlu ragu bahwa bila ia berhasil dalam tujuan ini, dan sejauh ia berhasil, ia akan lebih berhasil dengan kesalehen dalam doa daripada dengan karunia berpidato; sehingga ia harus berdoa bagi dirinya, dan juga bagi mereka yang mendengarkan, sebelum ia berupaya untuk berbicara. Dan ketika waktunya tiba bahwa ia harus berbicara, ia harus, sebelum membuka mulutnya, mengangkat jiwanya yang haus kepada Allah, untuk meminum apa yang hendak ia tuangkan, dan memenuhi dirinya dengan apa yang hendak ia bagikan. Karena, sejauh berkenaan dengan setiap perkara iman dan kasih ada banyak hal yang dapat dikatakan, dan banyak cara untuk menyampaikannya, siapa yang tahu apa yang bijak bagi kita untuk dikatakan pada saat tertentu, atau untuk didengarkan, kecuali Allah yang mengetahui hati setiap manusia? Dan siapa yang dapat membuat kita berkata apa yang seharusnya kita katakan, dan dalam cara yang semestinya, selain Ia di mana kita dan perkataan kita adalah tangan-Nya? Oleh karena itu, ia yang ingin untuk mengenal dan mengajar harus mempelajari semua yang perlu untuk diajarkan, dan memperoleh fakultas wicara sedemikian yang pantas bagi yang ilahi. Tetapi ketika waktu untuk berbicara tiba, marilah ia merenungkan perkataan Tuhan kita, yang lebih pantas bagi kekurangan pikiran yang saleh: “janganlah kamu kuatir akan bagaimana dan akan apa yang harus kamu katakan, karena semuanya itu akan dikaruniakan kepadamu pada saat itu juga. Karena bukan kamu yang berkata-kata, melainkan Roh Bapamu; Dia yang akan berkata-kata di dalam kamu”. Roh Kudus, berbicara bagi mereka yang diserahkan kepada para penganiaya karena Kristus, mengapa tidak juga [Roh Kudus] berbicara [dalam diri] mereka yang menyampaikan pesan Kristus kepada mereka yang mau belajar?”
Selain doa, pewartaan juga akan memiliki dampak yang lebih besar bila pewarta itu sendiri menghidupi apa yang mereka wartakan. St. Agustinus menjabarkan:
“Sekarang orang-orang ini melakukan yang baik baik banyak orang dengan mewartakan apa yang tidak mereka lakukan; tetapi mereka akan melakukan kebaikan bagi orang yang sangat banyak lagi bila mereka menghidupi apa yang mereka wartakan. Karena ada sejumlah orang yang berdalih atas kehidupan mereka yang jahat dengan membandingkan pengajaran dan cara hidup para pengajar mereka, dan yang berkata dalam hati mereka, atau sedikit lebih jauh, merkea berkata dengan bibirnya:  Mengapa engkau sendiri tidak melakukan apa yang kau perintahkan kepadaku untuk kulakukan? Dan karenanya mereka berhenti mendengarkan dengan ketaatan kepada mereka yang tidak mendengarkan mereka sendiri, dan dalam menolak pewarta [yang tidak menghidupi pewartaannya], mereka belajar untuk menolak perkataan yang diwartakan. Oleh karena itu sang rasul, yang menulis kepada Timotius, setelah memberitahunya, “Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda”, segera menambahkan  haluan yang olehnya ia menghindari penghinaan: “Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu”.”
Yesus pernah menunjukkan bahwa terdapat orang-orang yang mewartakan apa yang benar, namun mereka sendiri tidak menjalankannya:
“Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya” (Mat 23: 2-3).
Selanjutnya, kepada ahli Taurat dan orang Farisi Yesus memberikan serangkaian kata “celakalah”. Celakalah mereka yang hidupnya tidak sejalan dengan perkataannya, karena mereka adalah orang munafik. Kemunafikan tidak akan menyelamatkan jiwa mereka. Celakalah mereka yang tidak menjaga integritasnya, tak ada seorang pun yang akan mendengarkan mereka, karena mereka sendiri tidak menjalani apa yang seharusnya mereka lakukan.
Benar bahwa orang yang hidupnya tidak baik pun dapat menyampaikan hal yang benar. Namun St. Agustinus telah memperingatkan: mereka ini akan mengalami penolakan. Tidak hanya diri mereka sendiri, melainkan perkataan mereka, sekalipun itu benar, seseorang tidak akan mendengarkannya.
Menjaga integritas―kesatuan antara pikiran, perkataan dan perbuatan, yang merupakan esensi kehidupan Kristiani―tidak berarti bahwa seseorang mestilah tidak memiliki dosa dan kelemahan sama sekali. Seorang pewarta pun terkadang juga bisa gagal dalam melaksanakan kebenaran yang ia wartakan. Namun karakteristik utama yang perlu ada dalam diri seorang pewarta ialah kegigihan untuk memperjuangkan kekudusan,
Penutup
Possidius, seorang uskup yang mewariskan pada kita riwayat hidup St. Agustinus, menceritakan bahwa ketika St. Agustinus sedang berkhotbah, ia seharusnnya menyampaikan khotbahnya secara sistematis, yakni seharusnya ia menjawab pertanyaan yang diajukan di awal khotbahnya. Namun sayangnya apa yang disampaikan Agustinus menyimpang dari tujuannya: ia malah menyerang kekeliruan ajaran Manikeanisme, hal yang sebenarnya tidak ingin ia lakukan saat itu. Mengenai hal ini, St. Agustinus berkomentar:
“Saya kira, mungkin Tuhan ingin agar para pengelana di antara umat diajarkan dan disembuhkan oleh pelupaan dan kesalahan kita; karena kita dan perkataan kita adalah tangan-Nya.”
Meskipun demikian, melalui penyelenggaraan Ilahi-Nya yang misterius, Tuhan memang menghendaki bahwa hal yang baik terjadi dari kelemahan manusia. Keesokan harinya setelah khotbah Agustinus, ada seseorang bernama Firmus, seorang pedagang, yang datang di hadapannya, berlutut dan menangis serta meminta Agustinus untuk memohon pengampunan Tuhan bagi dosanya. Ia mengaku di hadapan Agustinus  bahwa Ia telah mengikuti ajaran Manikeanisme selama bertahun-tahun, namun karena belas kasih Allah, dan melalui khotbah St. Agustinus―secara khusus pada bagian penyimpangan dari tujuan awal khotbahnya―ia mengalami pertobatan secara mendalam dan menjadi Katolik. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai pedagang, dan melalui kehendak Allah ia menjadi imam.
Saya pribadi meyakini bahwa disposisi utama yang perlu dimiliki seorang pewarta adalah kerendahan hati: kita adalah hamba yang tak berguna, kita hanya melakukan apa yang seharusnya kita lakukan. Kita semua adalah instrumen yang rapuh, tak sempurna, namun Tuhan masih mau mempercayakan berbagai hal kepada kita, baik itu perkara kecil atau besar, karena kuasa Allah jauh lebih besar dari segala kelemahan kita. Pengalaman St. Agustinus di atas adalah bukti nyata besar-Nya kuasa Tuhan.
Dengan kerendahan hati ini, marilah kita berusaha menumbuhkan sikap hati seperti Maria, yang memilih bagian yang terbaik, “satu hal yang perlu”: relasi personal kita dengan Tuhan. Tuhanlah pusat dan sumber segala kehidupan kita, dan hanya dengan perjumpaan pribadi kita dengan wajah Tuhan, hanya dengan memandang Ia dari hati ke hati, maka pewartaan yang sejati dapat menghasilkan buah, dan karenanya meninggalkan kesan mendalam dalam hati manusia. Saya tutup tulisan ini dengan perkataan Paus Benediktus XVI:
“Semua orang ingin meninggalkan tanda yang kekal. Tapi apa yang bertahan? Bukan uang. Tidak juga bangunan atau buku. Setelah beberapa waktu, lama atau singkat, semua hal ini menghilang. Satu-satunya hal yang bertahan selamanya adalah jiwa manusia, pribadi manusia yang diciptakan oleh Allah bagi keabadian.
Buah yang bertahan karenanya semua yang kita tabur dalam jiwa manusia: kasih, pengetahuan, sikap yang mampu menyentuh hati, kata-kata yang membuka jiwa pada sukacita dalam Tuhan. Jadi mari kita pergi dan berdoa kepada Tuhan untuk membantu kita menghasilkan buah yang bertahan. Hanya dalam cara ini bumi akan diubah dari lembah air mata menjadi kebun Allah.”
Referensi
Augustine. On Christian Doctrine. Diakses pada tanggal 9 Juni 2015 dari http://www.catholictreasury.info/books/christian_doctrine/index.php
Dominic O’Connor, Michael. 2012. Preaching to the Whole Person: Classical Wisdom for the New Evangelization. Diakses pada tanggal 9 Juni 2015 dari http://www.hprweb.com/2012/10/preaching-to-the-whole-person-classical-wisdom-for-the-new-evangelization/ 
Possidius. Life of St. Augustine. Diakses pada tanggal 10 Juni 2015 dari http://www.tertullian.org/fathers/possidius_life_of_augustine_02_text.htm


Tidak ada komentar:

Posting Komentar