PANDANGAN ST. AGUSTINUS TENTANG PEWARTAAN
Oleh Cornelius-diambil dari Situs Lux VeritatisVeritatis
7
“Tak diragukan lagi, ia adalah seorang yang tandus, yang
mewartakan Sabda Allah secara lahiriah tanpa mendengarnya secara batiniah.” –
St. Agustinus
Mari
kita mengarahkan perhatian kita kepada salah satu Bapa Gereja Barat yang
memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pewartaan: St. Agustinus dari Hippo.
St. Agustinus menulis sebuah buku yang berjudul Mengenai
Ajaran Kristen, yang terdiri dari empat buku: buku I-III membahas tentang cara
memahami dan menafsirkan Kitab Suci, sedangkan buku keempat berbicara tentang
bagaimana menyampaikan kebenaran, dengan kata lain, buku keempat ini banyak
berbicara tentang pewartaan baik itu secara prinsip maupun praktik.
Tiga
Fungsi Pewartaan Menurut St. Agustinus
“Seorang orator ulung dengan benar berkata bahwa “seseorang yang
fasih berbicara harus berbicara untuk mengajar, memberikan kesenangan, dan
membujuk.” Lalu ia menambahkan: “Mengajar adalah keharusan, memberikan
kesenangan merupakan keindahan, membujuk merupakan sebuah kemenangan”.” – St.
Agustinus
Menurut
St. Agustinus, terdapat tiga fungsi pewartaan: untuk mengajar, memberikan
kesenangan, dan membujuk.
Fungsi pengajaran menegaskan
bahwa seorang pewarta, harus menafsirkan dan menjaga kebenaran ilahi yang ia
temukan dalam Kitab Suci, sekaligus juga menghancurkan kesesatan yang ada. Hal ini
terlihat jelas dalam homili St. Agustinus, yaitu bahwa ia tidak hanya
menjelaskan apa yang benar, tetapi seringkali ia juga menghancurkan kesesatan
yang ia temui, misalnya kesesatan Donatisme. Mengajar merupakan sebuah
keharusan karena seseorang tidak dapat bertindak bila ia tidak mengetahui apa
yang benar yang harus dilakukan.
Mengajar
juga berarti bahwa kebenaran yang disampaikan haruslah mudah dimengerti. Oleh
karena itu, hendaknya cara penyampaian yang rumit dan ambigu harus dihindari
sehingga pendengar dapat memperoleh pemahaman yang sama. St. Agustinus
menempatkan fungsi pengajaran ini sebagai prioritas utama dalam pewartaan. Ia
berkata:
“Untuk apa sebuah kunci yang terbuat dari emas, bila ia tidak
dapat membuka apa yang ia inginkan untuk dibuka? Atau keberatan apa yang harus
kita ajukan kepada kunci yang terbuat dari kayu, bila ia dapat membuka apa yang
ditutup, dan inilah yang kita inginkan?”
Dengan
kata lain, kebenaran yang disampaikan pewarta itu bagaikan kunci yang
seharusnya dapat membuka pintu hati manusia, sehingga ia dapat berdiam di
dalamnya. Akan lebih baik bila kebenaran memang disampaikan dengan cara yang
indah, namun apabila seseorang tidak memiliki talenta dalam hal ini, hendaknya
rasa cinta terhadap kebenaranlah yang diutamakan dan bukan bagaimana seharusnya
kebenaran itu disampaikan.
Fungsi kesenangan berarti
bahwa kebenaran harus disampaikan dengan cara yang indah sehingga membuat
seseorang menikmati apa yang didengarnya. Fungsi ini juga berperan dalam
menjaga perhatian para pendengar agar tetap fokus mendengarkan pewarta yang
berkhotbah. Bila mendengarkan pewartaan dapat dianalogikan sebagai sebuah
makanan, maka tentu apa yang didengar haruslah memberikan kenikmatan sehingga
seseorang mau terus mengunyahnya. Untuk memberikan keindahan dalam pewartaan,
St. Agustinus menggunakan berbagai teknik retorika, yang sayangnya tidak akan
kita bahas di sini.
St.
Agustinus menekankan perlunya menyatukan kebijaksanaan dan kefasihan dalam
berbicara; memadukan kebenaran dan keindahan penyampaian merupakan sebuah ideal
yang harus dicapai seorang pewarta. Namun bagaimana bila seseorang memiliki
cara penyampaian yang baik, tetapi tidak dapat menyusun apapun? Atau, bagaimana
bila seseorang tidak mampu menyampaikan kata-kata dengan indah? St. Agustinus menganjurkan
mereka menyampaikan tulisan yang ditulis oleh mereka yang mampu memadukan
kebijaksanaan dan kefasihan dalam berbicara.
Pada
prakteknya, khususnya di jaman modern ini, seorang pewarta harus berkonsultasi
dengan tokoh-tokoh Katolik yang tidak diragukan lagi kekudusan dan
kebijaksanannya. Mereka tidak lain adalah santo/a, para paus, uskup dan imam
yang sudah terbukti kebijaksanaan dan kekudusannya, dan telah banyak
meninggalkan warisan yang berharga bagi kita.
Fungsi menggerakkan juga
merupakan fungsi yang tak boleh dilupakan seorang pewarta. Mereka yang sudah
memahami kebenaran, dan menikmatinya ketika mendengarkan pewartaan, terkadang
kehendak mereka belumlah tergerak untuk melakukan apa yang sudah didengarkan.
Berdasarkan pengalaman pribadinya ketika berjuang membebaskan umatnya dari
kejahatan yang mereka lihat, dengar, dan rasakan, St. Agustinus menunjukkan
bagaimana kita dapat mengetahui apakah pewartaan kita sudah mampu menggerakkan
kehendak:
“Bagaimanapun, bukan ketika aku mendengarkan tepuk tangan,
melainkan ketika aku melihat air mata merekalah aku berpikir pewartaanku
memiliki dampak. Karena tepuk tangan menunjukkan bahwa mereka sudah diajarkan
dan dikenyangkan, tetapi air mata mereka menunjukkan bahwa mereka sudah
ditaklukkan. Dan ketika aku melihat air mata mereka aku merasa yakin, bahkan
sebelum kejadian membuktikannya, bahwa budaya barbar dan mengerikan (yang
diteruskan pada mereka dari bapa dan leluhur mereka yang lampau dan yang
olehnya para musuh menyerang hati mereka, atau merasuki mereka) telah
dijungkirbalikkan; dan segera setelah khotbahku berakhir aku memanggil mereka
dengan hati dan suara untuk memuji dan bersyukur kepada Tuhan.”
Pewartaan
yang menimbulkan air mata bagi para pendengarnya menunjukkan bahwa pewartaan
itu sendiri haruslah memiliki daya untuk membangkitkan emosi, karena melalui
emosi yang menyentuh sanubari hati, air mata mengalir, mengalir dan mengawali
proses pemurnian jiwa-jiwa. Tidak hanya membangkitkan semangat dan menyentuh
hati, St. Agustinus juga memasukkan aspek teguran atas perilaku yang buruk atau
jahat, agar seseorang menyadari bahayanya. Aspek inilah yang menurut saya, kian
jarang terdengar dalam pewartaan di jaman modern, khususnya di Indonesia.
Jika
setelah mendengar kebenaran, menikmatinya, dan kemudian seseorang bertindak
atas dasar kebenaran, maka inilah kemenangan yang dimaksud St. Agustinus.
Apakah kemenangan tersebut terutama merupakan hasil usaha manusia? Bolehkah
manusia berbangga terhadap dirinya ketika ia berhasil menggerakkan para
pendengarnya melakukan apa yang sudah mereka ketahui? Menurut St. Agustinus,
mengajar dan memberikan kenikmatan intelektual kepada pendengar merupakan
bagian dari usaha manusia, namun upaya untuk membengkokkan kehendak,
menyelaraskan kehendak manusia dengan Allah sehingga ia mau bertindak,
merupakan karya Allah yang mendorong kehendak melaui rahmat.
Fondasi
Pewartaan: Doa dan Kesatuan antara Perkataan dan Perbuatan
Tidak
perlu diragukan lagi bahwa St. Agustinus sangat menekankan pentingnya kehidupan
doa bagi seorang pewarta. Mari kita simak nasehat yang indah dari St.
Agustinus:
“Dan begitu juga ahli pidato Kristen, sementara ia berkata
tentang apa yang benar, dan kudus, dan baik (dan ia seharusnya tidak pernah
berkata yang lain), melakukan apa yang ia bisa untuk didengar dengan
inteligensi, dengan kenikmatan, dan dengan ketaatan; dan ia tidak perlu ragu
bahwa bila ia berhasil dalam tujuan ini, dan sejauh ia berhasil, ia akan lebih
berhasil dengan kesalehen dalam doa daripada dengan karunia berpidato; sehingga
ia harus berdoa bagi dirinya, dan juga bagi mereka yang mendengarkan, sebelum
ia berupaya untuk berbicara. Dan ketika waktunya tiba bahwa ia harus berbicara,
ia harus, sebelum membuka mulutnya, mengangkat jiwanya yang haus kepada Allah,
untuk meminum apa yang hendak ia tuangkan, dan memenuhi dirinya dengan apa yang
hendak ia bagikan. Karena, sejauh berkenaan dengan setiap perkara iman dan
kasih ada banyak hal yang dapat dikatakan, dan banyak cara untuk
menyampaikannya, siapa yang tahu apa yang bijak bagi kita untuk dikatakan pada
saat tertentu, atau untuk didengarkan, kecuali Allah yang mengetahui hati
setiap manusia? Dan siapa yang dapat membuat kita berkata apa yang seharusnya
kita katakan, dan dalam cara yang semestinya, selain Ia di mana kita dan
perkataan kita adalah tangan-Nya? Oleh karena itu, ia yang ingin untuk mengenal
dan mengajar harus mempelajari semua yang perlu untuk diajarkan, dan memperoleh
fakultas wicara sedemikian yang pantas bagi yang ilahi. Tetapi ketika waktu
untuk berbicara tiba, marilah ia merenungkan perkataan Tuhan kita, yang lebih
pantas bagi kekurangan pikiran yang saleh: “janganlah kamu kuatir akan
bagaimana dan akan apa yang harus kamu katakan, karena semuanya itu akan
dikaruniakan kepadamu pada saat itu juga. Karena bukan kamu yang berkata-kata,
melainkan Roh Bapamu; Dia yang akan berkata-kata di dalam kamu”. Roh Kudus,
berbicara bagi mereka yang diserahkan kepada para penganiaya karena Kristus,
mengapa tidak juga [Roh Kudus] berbicara [dalam diri] mereka yang menyampaikan
pesan Kristus kepada mereka yang mau belajar?”
Selain
doa, pewartaan juga akan memiliki dampak yang lebih besar bila pewarta itu
sendiri menghidupi apa yang mereka wartakan. St. Agustinus menjabarkan:
“Sekarang orang-orang ini melakukan yang baik baik banyak orang
dengan mewartakan apa yang tidak mereka lakukan; tetapi mereka akan melakukan
kebaikan bagi orang yang sangat banyak lagi bila mereka menghidupi apa yang
mereka wartakan. Karena ada sejumlah orang yang berdalih atas kehidupan mereka
yang jahat dengan membandingkan pengajaran dan cara hidup para pengajar mereka,
dan yang berkata dalam hati mereka, atau sedikit lebih jauh, merkea berkata
dengan bibirnya: Mengapa engkau sendiri tidak melakukan apa yang kau
perintahkan kepadaku untuk kulakukan? Dan karenanya mereka berhenti
mendengarkan dengan ketaatan kepada mereka yang tidak mendengarkan mereka
sendiri, dan dalam menolak pewarta [yang tidak menghidupi pewartaannya], mereka
belajar untuk menolak perkataan yang diwartakan. Oleh karena itu sang rasul,
yang menulis kepada Timotius, setelah memberitahunya, “Jangan seorangpun
menganggap engkau rendah karena engkau muda”, segera menambahkan haluan
yang olehnya ia menghindari penghinaan: “Jadilah teladan bagi orang-orang
percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam
kesetiaanmu dan dalam kesucianmu”.”
Yesus
pernah menunjukkan bahwa terdapat orang-orang yang mewartakan apa yang benar,
namun mereka sendiri tidak menjalankannya:
“Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi
Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan
kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena
mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya” (Mat 23: 2-3).
Selanjutnya,
kepada ahli Taurat dan orang Farisi Yesus memberikan serangkaian kata
“celakalah”. Celakalah mereka yang hidupnya tidak sejalan dengan perkataannya,
karena mereka adalah orang munafik. Kemunafikan tidak akan menyelamatkan jiwa
mereka. Celakalah mereka yang tidak menjaga integritasnya, tak ada seorang pun
yang akan mendengarkan mereka, karena mereka sendiri tidak menjalani apa yang
seharusnya mereka lakukan.
Benar
bahwa orang yang hidupnya tidak baik pun dapat menyampaikan hal yang benar.
Namun St. Agustinus telah memperingatkan: mereka ini akan mengalami penolakan.
Tidak hanya diri mereka sendiri, melainkan perkataan mereka, sekalipun itu
benar, seseorang tidak akan mendengarkannya.
Menjaga
integritas―kesatuan antara pikiran, perkataan dan perbuatan, yang merupakan
esensi kehidupan Kristiani―tidak berarti bahwa seseorang mestilah tidak
memiliki dosa dan kelemahan sama sekali. Seorang pewarta pun terkadang juga
bisa gagal dalam melaksanakan kebenaran yang ia wartakan. Namun karakteristik
utama yang perlu ada dalam diri seorang pewarta ialah kegigihan untuk
memperjuangkan kekudusan,
Penutup
Possidius,
seorang uskup yang mewariskan pada kita riwayat hidup St. Agustinus,
menceritakan bahwa ketika St. Agustinus sedang berkhotbah, ia seharusnnya
menyampaikan khotbahnya secara sistematis, yakni seharusnya ia menjawab
pertanyaan yang diajukan di awal khotbahnya. Namun sayangnya apa yang
disampaikan Agustinus menyimpang dari tujuannya: ia malah menyerang kekeliruan
ajaran Manikeanisme, hal yang sebenarnya tidak ingin ia lakukan saat itu.
Mengenai hal ini, St. Agustinus berkomentar:
“Saya kira, mungkin Tuhan ingin agar para pengelana di antara
umat diajarkan dan disembuhkan oleh pelupaan dan kesalahan kita; karena kita
dan perkataan kita adalah tangan-Nya.”
Meskipun
demikian, melalui penyelenggaraan Ilahi-Nya yang misterius, Tuhan memang
menghendaki bahwa hal yang baik terjadi dari kelemahan manusia. Keesokan
harinya setelah khotbah Agustinus, ada seseorang bernama Firmus, seorang
pedagang, yang datang di hadapannya, berlutut dan menangis serta meminta
Agustinus untuk memohon pengampunan Tuhan bagi dosanya. Ia mengaku di hadapan
Agustinus bahwa Ia telah mengikuti ajaran Manikeanisme selama
bertahun-tahun, namun karena belas kasih Allah, dan melalui khotbah St.
Agustinus―secara khusus pada bagian penyimpangan dari tujuan awal khotbahnya―ia
mengalami pertobatan secara mendalam dan menjadi Katolik. Ia meninggalkan
pekerjaannya sebagai pedagang, dan melalui kehendak Allah ia menjadi imam.
Saya
pribadi meyakini bahwa disposisi utama yang perlu dimiliki seorang pewarta
adalah kerendahan hati: kita adalah hamba yang tak berguna, kita hanya
melakukan apa yang seharusnya kita lakukan. Kita semua adalah instrumen yang
rapuh, tak sempurna, namun Tuhan masih mau mempercayakan berbagai hal kepada
kita, baik itu perkara kecil atau besar, karena kuasa Allah jauh lebih besar
dari segala kelemahan kita. Pengalaman St. Agustinus di atas adalah bukti nyata
besar-Nya kuasa Tuhan.
Dengan
kerendahan hati ini, marilah kita berusaha menumbuhkan sikap hati seperti
Maria, yang memilih bagian yang terbaik, “satu hal yang perlu”: relasi personal
kita dengan Tuhan. Tuhanlah pusat dan sumber segala kehidupan kita, dan hanya
dengan perjumpaan pribadi kita dengan wajah Tuhan, hanya dengan memandang Ia
dari hati ke hati, maka pewartaan yang sejati dapat menghasilkan buah, dan
karenanya meninggalkan kesan mendalam dalam hati manusia. Saya tutup tulisan
ini dengan perkataan Paus Benediktus XVI:
“Semua orang ingin meninggalkan tanda yang kekal. Tapi apa yang
bertahan? Bukan uang. Tidak juga bangunan atau buku. Setelah beberapa
waktu, lama atau singkat, semua hal ini menghilang. Satu-satunya hal yang
bertahan selamanya adalah jiwa manusia, pribadi manusia yang diciptakan oleh Allah
bagi keabadian.
Buah yang bertahan karenanya semua yang kita tabur dalam jiwa
manusia: kasih, pengetahuan, sikap yang mampu menyentuh hati, kata-kata yang
membuka jiwa pada sukacita dalam Tuhan. Jadi mari kita pergi dan berdoa kepada
Tuhan untuk membantu kita menghasilkan buah yang bertahan. Hanya dalam cara ini
bumi akan diubah dari lembah air mata menjadi kebun Allah.”
Referensi
Augustine. On Christian Doctrine. Diakses
pada tanggal 9 Juni 2015 dari http://www.catholictreasury.info/books/christian_doctrine/index.php
Dominic
O’Connor, Michael. 2012. Preaching to the
Whole Person: Classical Wisdom for the New Evangelization. Diakses
pada tanggal 9 Juni 2015 dari http://www.hprweb.com/2012/10/preaching-to-the-whole-person-classical-wisdom-for-the-new-evangelization/
Possidius. Life of St. Augustine. Diakses
pada tanggal 10 Juni 2015 dari http://www.tertullian.org/fathers/possidius_life_of_augustine_02_text.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar