Sabtu, 06 Juli 2013

10 Kutipan Terbaik dari Ensiklik Lumen Fidei (Terang Iman)

Lumen Fidei

Jumat, 5 Juli 2013 Paus Fransiskus menerbitkan Ensiklik berjudul Lumen Fidei (Terang Iman). Awalnya ensiklik ini ditulis oleh Paus Benediktus XVI untuk melengkapi trilogi ensikliknya yang bertema kebajikan kristiani, yaitu iman, harapan dan kasih. Namun karena beliau mengundurkan diri, maka tugas untuk menyelesaikan enskiklik ini diteruskan kepada penerusnya, yaitu Paus Fransiskus. Namun hampir secara keseluruhan enskiklik tersebut ditulis oleh Paus Emeritus Benediktus XVI. Berikut ini kutipan2 dari enskiklik tersebut (Ensiklik Lumen Fidei berbahasa Inggris bisa dibaca disini : Lumen Fidei)
—-
Perlahan tapi pasti, menjadi jelas bahwa terang akal budi yang otonom tidaklah cukup untuk menerangi masa depan; pada akhirnya masa depan tetaplah samar dan penuh kekhawatiran, dengan rasa takut terhadap hal yang tak diketahui. Akibatnya, manusia meninggalkan pencarian terang yang besar, Kebenaran itu sendiri, agar menjadi puas dengan terang-terang kecil yang menerangi suatu masa sesaat namun terbukti tidak mampu menunjukkan jalan. Dalam ketiadaan terang [iman] segala sesuatu menjadi membingungkan; tidaklah mungkin menmbedakan yang baik dari yang jahat, atau jalan menuju tujuan kita dari jalan-jalan lain yang membawa kita kepada lingkaran tak berujung, yang tak pergi kemanapun.
Lawan dari iman adalah penyembahan berhala. Selagi Musa berbicara kepada Allah di Sinai, umat Israel tidak tahan dengan misteri ketersembunyian Allah, mereka tidak mampu bertahan dari lamanya waktu penantian untuk melihat wajah Allah. Iman pada hakekatnya menuntut [seseorang] meninggalkan kepemilikan langsung yang ditawarkan oleh pandangan [mata]; iman merupakan undangan untuk berbalik kepada sumber terang, sementara menghormati misteri sebuah wajah yang akan menyingkapkannya secara pribadi pada waktunya….Tampak lebih baik menggantikan iman dalam Allah dengan menyembah suatu berhala, yang wajahnya dapat kita lihat secara langsung dan asal usulnya kita ketahui, karena ia merupakan hasil karya tangan kita. Dihadapan berhala, tidak ada resiko bahwa kita akan dipanggil untuk meninggalkan rasa aman kita, karena berhala-berhala “memiliki mulut, tetapi mereka tidak bisa bicara” (Maz 115:5). Berhala ada, kita memahaminya, sebagai alasan palsu untuk menempatkan diri kita di pusat realita dan menyembah karya tangan kita. Sekali manusia telah kehilangan orientasi fundamental yang menyatukan keberadaannya, ia terpecah ke dalam keanekaragaman dari keinginannya.
Iman bukan persoalan pribadi, gagasan yang sungguh individualistik atau sebuah opini pribadi; iman berasal dari pendengaran, dan iman dimaksudkan untuk menemukan ungkapannya dalam perkataan dan untuk dinyatakan. Karena “bagaimana mereka percaya padanya yang tidak pernah mereka dengar? Dan bagaimana mereka mendengar tanpa seorang pengkhotbah” (Rom 10:14). Iman bekerja dalam [diri] orang Kristen atas dasar karunia yang diterima, kasih yang menarik hati kita kepada Kristus (Gal 5:6), dan memampukan kita menjadi bagian dari peziarah agung Gereja melalui sejarah sampai akhir zaman.
…Kita membutuhkan pengetahuan, kita membutuhkan kebenaran, karena tanpa keduanya kita tidak dapat berdiri kokoh, kita tidak dapat melangkah maju. Iman tanpa kebenaran tidak menyelamatkan, juga tidak memberikan pijakan yang pasti. Ia tetap merupakan kisah yang indah, proyeksi kerinduan mendalam kita akan kebahagiaan, sesuatu yang mampu memuaskan kita sejauh kita rela menipu diri kita sendiri.
Tetapi Kebenaran sendiri, kebenaran yang dapat secara komprehensif menjelaskan kehidupan kita sebagai individu dan dalam masyarakat, ditanggapi dengan kecurigaan. Tentu jenis kebenaran ini – kita mendengar bahwa dikatakan demikian – adalah apa yang diklaim oleh gerakan totalitarian besar akhir abad ini, kebenaran yang memaksakan pandangannya tentang dunia untuk menghancurkan kehidupan individual yang aktual. Pada akhirnya, kita ditinggalkan hanya dengan relativisme, dimana pertanyaan tentang kebenaran universal – dan pada akhirnya ini berarti pertanyaan tentang Allah – tidak lagi relevan. Merupakan hal yang logis sekali, dari sudut pandang ini, untuk berupaya memutuskan ikatan antara agama dan kebenaran, karena ia tampaknya berakar pada fanatisme, yang terbukti menindas siapapun yang tidak memiliki keyakinan yang sama.
Hanya sebatas kasih yang didasarkan pada kebenaran ia dapat bertahan sepanjang waktu, dapat melampaui momen yang berlalu dan cukup kokoh untuk menopang perjalanan bersama. Bila kasih tidak terikat pada kebenaran, ia menjadi korban dari emosi yang berubah-ubah dan tidak dapat bertahan bila menghadapi ujian waktu. Kasih yang benar/Kasih sejati, di sisi lain, menyatukan semua unsur pribadi kita dan menjadi terang baru yang menunjukan jalan kepada kehidupan yang agung dan terpenuhi. Tanpa kebenaran, kasih tidak mampu mendirikan ikatan yang kuat; ia tidak bisa membebaskan ego kita yang terisolasi atau menebusnya dari momen sesaat untuk menciptakan kehidupan dan menghasilkan buah.
Bila kasih membutuhkan kebenaran, kebenaran juga membutuhkan kasih, kasih dan kebenaran tidak terpisahkan. Tanpa kasih, kebenaran menjadi dingin, impersonal, dan menindas orang jaman sekarang. Kebenaran yang kita cari, kebenaran yang memberi makna perjalanan kita melalui kehidupan, menerangi kita kapanpun kita disentuh oleh kasih. Hanya mereka yang mencintai yang menyadari bahwa kasih merupakan pengalaman akan kebenaran., ia membuka mata kita kepada realita dalam cara yang baru, dalam persatuan dengan Ia yang kita kasihi.
Karena iman adalah sebuah jalan, ia harus berhubungan dengan kehidupan pria dan wanita, yang walaupun bukan orang beriman, namun berkeinginan untuk percaya dan terus mencari. Sejauh mereka secara tulus terbuka kepada kasih dan mulai dengan terang apapun yang mereka temukan, mereka sudah, tanpa menyadarinya, berada di jalan menuju iman. Mereka berjuang untuk bertindak seolah-olah Allah itu ada, karena mereka menyadari betapa pentingnya Ia untuk menemukan petunjuk arah yang pasti bagi kehidupan bersama kita atau karena mereka mengalami kenginan akan terang ditengah kegelapan, tetapi juga dalam memahami kemegahan dan keindahan mereka mengetahui melalui hati, kehadiran Allah yang menjadikan semuanya lebih indah…Siapapun yang memulai perjalanan dalam melakukan kebaikan kepada orang lain sudah mendekat kepada Allah, ia ditopang oleh pertolongan-Nya, karena hal ini merupakan ciri terang ilahi untuk menerangi mata kita kapanpun kita berjalan menuju kepenuhan kasih.
Teologi juga menjadi bagian dalam bentuk iman gerejawi; terangnya adalah terang subjek yang percaya, yang adalah Gereja. Implikasinya, di sisi lain, teologi harus melayani iman orang Kristiani, ia harus bekerja dengan rendah hati untuk melindungi dan memperdalam iman setiap orang, khususnya orang beriman biasa. Di sisi lain, karena ia menarik kehidupannya dari iman, teologi tidak dapat menganggap magisterium Paus dan Para Uskup dalam persatuan dengannya sebagai sesuatu yang ekstrinsik, batasan bagi kebebasannya, melainkan sesbagai satu dari dimensinya yang internal, dimensi konstitutif, karena magisterium melindungi kontak kita dengan sumber primordial dan karenanya memberikan kepastian dalam mencapai sabda Kristus dalam segala integritasnya.
Sebagai pelayanan bagi kesatuan iman dan penyebaran integralnya, Tuhan memberikan Gereja-Nya karunia suksesi apostolik. Melalui sarana ini, keberlanjutan memori Gereja dilindungi dan akses tertentu kepada air mancur yang darinya iman mengalir, dapat [kita] miliki. Kepastian keberlanjutan dengan asal usulnya karenanya diberikan oleh pribadi-pribadi yang hidup, dalam cara yang selaras dengan iman yang hidup yang diteruskan oleh Gereja. Gereja bergantung pada kesetiaan para saksi yang dipilih Tuhan untuk tugas ini. Untuk alasan ini, magisterium selalu berbicara dalam keataatan kepada perkataan sebelumnya, dimana iman didasarkan padanya; magisterium dapat dipercaya karena kepercayaannya kepada sabda yang ia dengar, ia lindungi dan ia jelaskan. [45] Dalam diskursus perpisahan St. Paulus kepada tua-tua Efesus di Miletus, yang dikisahkan kembali oleh St. Lukas pada kita dalam Kisah Para Rasul, ia memberi kesaksian bahwa ia telah melaksanakan tugas yang Tuhan percayakan padanya untuk “menyatakan seluruh nasehat Allah” (Kis 20:27). Syukur kepada Magisterium Gereja, nesehat ini dapat sampai kepada kita dalam integritasnya, dan dengan suka cita mampu mengikutinya secara penuh.
Quote tambahan :
Karena Iman itu hanya satu, hal tersebut harus dipercayai dengan jelas dan utuh. Lebih tepatnya karena semua isi dari Iman berhubungan satu dengan lainnya, maka menolak salah satu, bahkan hal kecil yang kelihatan tidak terlalu penting, maka menodai sampai pada menyimpang dan penolakan seluruh Iman tersebut. Setiap lembaran sejarah kita dapat melihat bahwa hal tertentu dalam Iman mudah atau susah diterima, tetapi kita harus membutuhkan kesadaran dan pengawasan yang penuh untuk memastikan deposit dari Iman diteruskan atau diturunkan secara kesuluruhan (bdk 1 Tim 6:20) dan lebih dari itu semua aspek dari kepercayaan dari Iman harus dijelaskan secara apa adanya. Memang, dalam persatuan dalam Iman adalah persatuan dalam Gereja, maka menambah sesuatu yang berbeda dalam Iman, maka menambah sesuatu yang berbeda dari kebenaran dalam persekutuan dengan Gereja juga. Para Bapa Gereja menjelaskan bahwa Iman bagaikan sebuah tubuh, tubuh dari kebenaran yang berisi hal yang beragam, dan hal ini menyamakan Tubuh Kristus yang didalamnya juga berhubungan dengan Gereja [42]. Kejelasan dalam Iman juga berhubungan dengan gambaran dari Gereja layaknya perawan dan cinta-Nya yang tulus kepada Kristus sebagai pengantin pria-Nya, maka dari itu melukai Iman sama saja melukai hubungan persekutuan dengan Kristus [43]. Persatuan dalam Iman, juga merupakan persatuan dalam tubuh yang hidup, hal ini dijelaskan dengan jelas oleh Beato John Henry Newman ketika beliau menjelaskan karakter dari ciri-ciri pengembangan doktrin dalam masa ke masa dan pengaruhnya dalam menjelaskan berbagai hal ketika hal tersebut bertemu dengan berbagai masalah pada saat muncul yang juga berpengaruh dalam kultur dan kebiasaan pada saat tersebut dan dijelaskan dalam Iman [44], maka dari itu dengan menjelaskan secara pasti dan memurnikan segala hal berhubungan dengan Iman maka dengan begitu ekspresi dalam Iman sampai ketitik paling sempurna. Maka dari itu Iman itu bersifat Universal dan Katolik, karena hal tersebut menerangi seluruh jagat raya dan seluruh sejarah.